Senin, 05 Desember 2011

sandiwara


SANDIWARA

Bagi seorang ayah, kebahagiaan terbesar adalah bisa membahagiakan keluarganya. Namun tidak bagi Rendy. Seorang ayah yang senang melihat anaknya menderita hanya untuk kepentingan sendiri.  Adalah Mega, seorang anak yang tidak pernah diharapkan ada. Hanya karena ia menyandang gelar anak MBA (married by accident). Yang terputus sekolahnya 2 tahun lalu saat masih kelas 2 SMP.
Sore hari, saat kelam malam mulai bersahutan. Di rumah gubuk berdinding tepas terdengar nyanyian kecil.
“hikz..hikz..hikz…” Mega menangis telungkup hanya dengan selimut bernoda yang menutupi tubuhnya.
” Diam kamu,,!!”  bentak rendy sembari mengancing kancing bajunya. “sebentar lagi ibumu pulang, cepat pakai bajumu!” bentaknya.
Mendengar itu, mega pun perlahan beranjak dari tempat jinah itu karena jika terlalu lama, memarnya akan semakin bertambah.
Ternyata ini bukan kali pertama rendy menggauli anak perempuannya. Sudah hampir satu tahun lebih, saat mega tak lagi bersekolah, ia selalu menjadi bulan-bulanan birahi ayahnya itu. Mega kerap mendapat tekanan dari ayahnya. Baik itu secara fisik maupun mental. Tidak jarang luka bakar dan memar menari-nari di tubuh perempuan malang ini. Saat mega selesai berpakaian, ia langsung berjalan pincang menahan bengkak di daerah kemaluannya. Tertunduk lesu ke teras rumah gubuknya itu dan duduk perlahan dengan raungan kecil di sana.
“hhhhhheeeemmmmmm…..” Perih yang berusaha ditahan
Matanya  menerawang jauh. Bukan ke luar dirinya, namun lebih tepat ke kedalaman dirinya. Mata mega seperti menusuk hatinya sendiri.

“Kalau ku bandingkan air mata ku saat ini, mungkin sama seperti kebenaran air bah yang memperlayarkan Perahu Nuh, atau mungkin persis keagungan air Laut Merah yang membukakan jalan bagi Musa dan pada akhirnya menenggelamkan kemurkaan Fir’aun.” Air mata berlinang pelan di pipi anak tanpa asa itu.
Belum selesai ia merenungi nasib, setitik bayangan tampak membelah gelapnya malam itu. Mega pun terjaga. Air mata itu seolah bagai angin lalu belaka. Ia berusaha mengubah kisi mimiknya menjadi senyuman. Sandiwara yang kerap diperagakan saat Sari, ibunya, ada di rumah.
“mama baru pulang?” Tanya mega dengan senyumnya sambil mengangkat kantongan plastik hitam yang berisi kain kotor majikan ibunya untuk dicuci serta sayur yang baru di beli.
 “iya..” jawab ibunya lembut.
Ibu mega, sari, tidak pernah merasa ada yang aneh dalam keluarganya itu. Hanya sesekali ia penasaran akan sikap anaknya yang agak berbeda dengan gadis lain di sekitar lingkungannya. Ia merasa mega kurang bergaul dan memiliki sifat menutup diri dari lingkungan dan pemalu. Namun, ia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Terlebih lagi, ia sibuk sebagai pembantu rumah tangga, yang harus pergi pagi sekali dan pulang malam. Semua seperti baik-baik saja. Saat di dalam rumahpun semua tampak biasa. Seolah bapak dan anak ini sudah saling menguasai perannya masing-masing.  
“masak dulu sayur yang mama bawa tadi di plastik yang satu lagi ya..?” pinta mama lembut.
“ iya ma..” sahut mega sambil berjalan ke dapur membawa kantongan plastik.
Mendengar sari pulang, rendy yang dari tadi merapikan tempat tidur, keluar dari kamar.
“pa, pegal kali bahu mama ini lah, tolong di urut bentar ya?”  tersenyum menatap rendy.
 Rendy yang mengerti maksud sari
  “ iya ma..”.  lalu mereka berdua beranjak ke kamar.
Mega yang sibuk di dapur dengan suara panci yang berdeting mendengar kegiatan  ayah dan ibunya. Ia  hanya bisa menunduk
“ya Tuhan.. sampai kapan hidupku seperti ini?”  ratapan peluh berpadu dengan linangan air mata yang berhamburan dari matanya. Seolah mata mega adalah sumber air mata abadi yang tak pernah kering.
Dalam kesehariannya, Mega selalu mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan semua yang telah terjadi terhadap dirinya kepada ibunya,  karena takut akan siksa ayahnya yang kerap melunturkan asanya untuk melanjutkan hidup.  Memang semenjak mega tidak lagi bisa sekolah, rendy, ayahnya,  selalu mencari kesempatan-kesempatan untuk berduaan di rumah dengan mega. Dan dengan terpaksa mega harus meladeni hasrat iblis dari ayahnya itu. karena jika tidak, tali pinggang yang setia tergantung di pintu kamar senantiasa menjadi saksi bisu akan kekerasan sang ayah.
Semua telah terhidang di meja makan yang lebih mirip seperti meja belajar anak SD di sekolah tertinggal. Lama menunggu hingga akhirnya mama dan papa mega keluar kamar dengan butiran keringat yang masih bercucuran. Namun mega tampak sudah terbiasa dengan hal itu.
“ma, makanannya dah siap..” tutur mega
“iya, mama mau mandi dulu, makan aja dulu sama bapakmu,” tegas ibunya menuju ke luar untuk mandi di sebelah rumah. Yaitu sumur galian sekaligus tempat mandi di sampingnya.
Saat sari tidak ada, tatapan kejam dari rendy menghujani wajah mega.
“kenapa kamu begitu lesu?!!” mega tertunduk
“kalau sampai ibumu curiga dengan sikapmu ini, kamu akan dapat pelajaran!!” lanjutnya
“asal kamu tau, kamu gak pernah kuharapkan ada di dunia ini..!” sambil mengepalkan tangannya seolah ingin masuk ke arena ring tinju
“kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku,! Gara-gara kamu, aku harus berhenti sekolah dan harus menanggung malu.” 
Menatap tajam kepada mega
 “kamu memang anak sialan,,,,!” lanjut rendy
 ”camkan itu,,!!” rendy pun pergi ke kamar.
Beberapa saat kemudian mama datang.
“loh, papa mana?” Tanya mama.
Mega yang tadinya tertunduk lesu sembari menyadari bahwa ia tidak pernah diinginkan ada, kembali menunjukkan skill-nya dalam bersandiwara bak artis ibu kota.
“oohh, papa di kamar ma, katanya makannya barengan sama mama aja”
“hhhmmmm, gitu ya?” ibu pun menuju ke kamar.
           
Makanan di meja seolah menjadi penonton akan permainan sandiwara ini sebelum keluarga kecil yang tampak baik ini melahap mereka malam ini.
*

Seminggu berselang setelah malam yang penuh dengan drama itu, Ayah mega, Rendy, yang adalah seorang buruh bangunan lepas yang kerjanya tidak menentu, hari ini pulang lebih awal karena pekerjaannya sudah selesai untuk hari ini.
Sekitar jam 13.30 WIB. Panas terik matahari benar-benar mencakari seluruh permukaan kulit. Menguras keringat. hingga mengundang dahaga. Bahkan emosi dapat saja meledak-ledak bak dinamit. Dengan berjalan kaki, rendy pun sampai di rumah.
“ mega,…  buatkan kopi…”  sambil mengibas-ngibaskan topi ke leher dan dadanya.
Tidak ada suara balasan.
“ mega,…  buatkan kopi…!”  ujarnya lagi dengan intonasi yang meninggi satu oktaf.
Namun masih juga tak ada yang menyahut. Rendy pun bangkit dan masuk ke dalam rumah. Ia mendapati ternyata mega tertidur di kamar. Melihat mega yang tertidur tenang, ia pun naik pitam dan langsung masuk ke kamar
            “ paaaaaaakkk….” Suara yang tak bernada terdengar dari kamar
            “ anak kurang ajar,,! Enak kamu tidur-tiduran ya anjing!!”
Tak cukup merah lebam di pipi mega yang tersentang tak berdaya, ayahnya pun langsung menarik kuat baju di bawah leher mega dan membantingnya hingga terlempar dari tempat tidur.
“guubrrraaaaaaaakkk” terdengar suara papan-papan tempat tidur berjatuhan.
Selayaknya seorang ahli panah yang tahu benar letak anak panah yang ada di belakang punggungnya, demkian rendy tak butuh waktu lama untuk mengambil tali pinggang yang sudah siap siaga di balik pintu kamarnya.
“tak..takk..teikk…. takk…” penyiksaan bak binatang disaksikan oleh dinding-dinding tepas nan bisu.
Mega lebih tampak seperti bahan bangunan yang diperlakukan semena-mena tanpa perasaan oleh rendy, ayahnya.
“hikz…hikz…hikz…hikz….” Raungan  pedih kesakitan mega yang masih dapat duduk di sudut kamar menahan siksa.
            Entah apa yang ada dalam pikiran rendy kala melihat baju mega yang terkoyak di bawah lehernya, seolah memancing sesuatu keluar dari dalam dirinya. Hingga ia langsung melucuti seluruh pakaian mega.
“hhhiiiiiiiiiiiiikkkkzzzz….” Mega berusaha melawan binatang jalang yang sedang menggerogoti tubuhnya.
“hikz…hikz…  gak mau aku pa,,!!!” tangis mega yang mulai tak berdaya.
“diam kamu,!!” bentak sang ayah durhaka
Saat rendy, ayah mega, sedang asik berpacu dengan segumpal tubuh tak berdaya, tiba-tiba Sari, ibu mega, datang. Berhubung hari ini majikan sari pergi keluar kota, maka sari diperbolehkan pulang cepat. Sari langsung masuk ke dalam rumah tanpa ada perasaan curiga sedikitpun awalnya. Setelah masuk ke dalam, ia  seakan mengerem langkahnya saat hendak melewati pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia mulai mendekati pintu kamar dan mendengar raungan-raungan mega, anaknya, dari dalam kamar. Ia pun lekas membuka pintu kamar.
“hhaaaaaaaaaaaaaaccccccchhhhhhhhhhhhh…….!!!!!”  Suara jeritan nyaring berkumandang dari gubuk sandiwara itu.
Rendy yang terkejut dengan jeritan itu, berpulang dari alam surga dunianya. Ia tersentak dengan wajah pucak tak karuan. Dengan nafas yang masih berdesah-desah.
“heeehhhh…. Heeeehhhhh….  Ma… ma… mama dah pulang?” perasaan takut, gemetar. Sembari berusaha mencari pakaian apa jadi untuk menutupi tubuhnya.
Mega hanya telungkup di tempat tidur menutupi mukanya dengan isak tangis yang tak dapat lagi dibendung. Tidak butuh waktu lama bagi sari untuk mengerti apa yang telah terjadi terhadap mega selama ini ketika ia melihat bekas memar-memar di sekujur tubuh mega. Sedikit perasaan tanya yang pernah terbesit di pikirannya memberikan jawaban luas akan kondisi anaknya itu.
            “ma, ini semua gak seperti yang kamu pikirkan” ucap rendy takut.
            “udah cukup rendy!!” bentak sari.
Tanpa banyak bicara
            “mega, sekarang pakai bajumu!!” tegas sang bunda
Mega pun  memakai pakainnya yang telah berserak di kamar itu. Tidak ada kata terucap. Suasana hening. Rendy yang tertunduk lesu tak bergairah, dengan sarung ala kadarnya menutupi bagian bawah tubuhnya, hanya diam dan pasrah. Amukan singa seolah terpancar dari wajah sari, yang segera akan menerkam mangsa yang melalu-lintang di depannya.
            “sekarang ikut mama!!” tandas sari sembari menggenggam lengan sari
Mega dan sari, ibunya, kelar dari kamar itu dan langsung beranjak pergi.
Di tengah jalan,
“apa yang sebenarnya telah terjadi?” menatap mega
“apa ini sering terjadi?” mega hanya tertunduk
“jelaskan semua sama mama sekarang..” ujar sang mama mulai dengan nada lembut sembari berjalan ke arah kantor kepala desa.
“ hikz..hikz...hikz…”
“maafin aku ma..   hikz..hikz…hikz….” memeluk ibunya dengan erat. Langkah terhenti sejenak.
“papa dah lama ngelakuin itu sama aku ma. Dia selalu mengancam kalo aku bilang sama mama. Jadi aku selalu berusaha buat jaga rahasia itu ma,aku takut  kalo papa mukulin aku lagi.” Lanjutnya dengan isak tangis sambil berjalan kembali.
Memendam kecewa yang teramat sangat, sari hanya menghela nafas dalam.
            “ya sudahlah..” simpul sang bunda
Sesampainya di kantor kepala desa, sari pun melaporkan kejadian yang telah terjadi pada anaknya. Sambil menunjukan bekas memar pada mega,anaknya, sebagai bukti kekerasan yang dialami anaknya itu. Kepala desa lagsung merespon laporan itu dengan memanggil polisi. Sekitar setengah jam berselang, polisi pun datang dan langsung menggiring rendy, ayah mega.
            “maafkan aku nak..” ucap sang ayah pasrah sebelum naik ke mobil polisi
            “mungkin itu juga adalah sandiwara…” ucap sang bunda.